Selasa, 12 Juni 2012

Ibu dan Jalan Cinta



Sedang kangen mamah, dan menemukan tulisan ini di dalam bingkai cerita dalam sebuah file lama ...

Bandung, Desember 2007 ...

Saya mengenal wanita ini sepanjang hidup, sepanjang saya melangkah, sepanjang jalan. Dan beliau menemani langkah ini dengan cinta. Cinta yang tulus, tanpa asa, tanpa ragu, bahkan meminta balas atas sekian puluh ribu tetesan keringat cinta yang mengalir dalam tubuh ini.
Dialah ibu, Mama, wanita yang telah melahirkan dan membesarkan saya.
Seseorang yang banyak menginspirasi saya.menginspirasi dalam segala hal, Sayang saya baru menyadari semua yang mama lakukan adalah sesuatu  yang baik untuk saya sekarang ini.
Sejak kecil mamah sangat sedikit  merasakan kasih sayang dari orang tua terutama sang ibu, sejak berusia kurang dari satu tahun,mamah sudah harus terpisah dari ibu kandungnya, sang ibu yang diharapkan bisa membesarkan penuh kasih dan sayang, mengajarkannya kelemah lembutan wanita, tata krama seorang wanita, kesabaran, kelembutan, memasak, menjadi tempat berlindung kala bersedih. Itu semua tidak mama temukan. Begitu yang saya tahu dari cerita Mama, Ema Buyut, dan Nenek yang merupakan sang ibu dari mamah.
Saya pun merasakan bagaimana mamah begitu sulit membangun itu semua kendati sudah menikah dan mempunyai anak seperti saya. Tidak seperti ibu – ibu lainnya, Mamah tidak pintar memasak, beres – beres rumah, merawat suami. Dan itu sedikit banyak mempengaruhi saya yang juga jadi tidak terlalu pintar memasak. Tapi bukan berarti mamah tidak pernah memasak. Mamah selalu memasak untuk kami, hanya saja tidak sehebat ibu2 lainnya.
Saat saya kecil mamah sering mendongengkan cerita-cerita yang mengandung semangat, termasuk cerita bahwa saat kecil, mamah sering kali cemburu jika main ke rumah temannya. Iri Karena  saat ke rumah temannya, di sana ada ibu si teman yang sedang mempersiapkan sarapan berangkat sekolah, sementara mamah saat itu karena malu, pura - pura bilang bahwa dia sudah sarapan, padahal sebenarnya belum. Dan Mamah hanya bisa berdiri dekat pintu, tanpa berani mengganggu adegan anak dan ibu di depan matanya itu. Saat bercerita ini, mamah sambil memasak makanan untuk saya ^^, dan saya tidak bisa membayangkan sederas apa tangis mamah saat itu.
Kehidupan soliter sejak kecil yang mamah lewati membuat beliau tumbuh menjadi sosok yang terlihat lembut dari luar namun memiliki pendirian yang sangat kuat dan sedikit terlihat keras. Dalam keterbatasan dan lingkungan keluarga yang tumbuh di lingkungan pesantren tradisional, mamah termasuk yang bersikeras untuk bisa melanjutkan sekolah formal. Hingga akhirnya beliau bisa menjadi guru dan menjadi pegawai negeri sipil. Saat itu, di zamannya menjadi guru dan menjadi seorang PNS adalah hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang – orang yang memiliki latar belakang ‘normal’, normal dari keluarga yang lengkap orang tuanya, normal dari segi pembiayaannya dan normal segala – galanya. Meski saat itu Abah berkecukupan, mamah tetap berkeyakinan bahwa pendidikan adalah salah satu modal terbesar dalam menjalani hidup ini, dan itu terbukti hingga akhirnya Abah tidak lagi sejaya dulu, mamah adalah satu – satunya dari tiga anak Abah yang bisa hidup dengan keringat sendiri, dan satu satunya anak abah yang bisa melanjutkan studi formalnya sampai tingkat S1.
Untuk menuju S1 pun bukanlah sesuatu yang sangat mudah bagi mamah. Sejak lulus SPG [Sekolah Pendidikan Guru] mamah mulai mengabdikan diri di daerah Bekasi, dan di sanalah beliau mendapatkan seseorang yang kemudian kelak saya panggil Bapak. Suami pilihan mamah, dan untuk itu mamah menolak pilihan keluarga. Sebuah keputusan besar, karena mamah baru bertemu beberapa kali dengan Bapak, dan kemudian memutuskan dengan cepat untuk menikah. Ada sebagian besar keluarga yang menyayangkan hal ini. Namun mamah dan Bapak tetap berjuang membuktikan bahwa mereka bisa menjalani kehidupan keluarga walau dengan kondisi yang sederhana. Dan itu terbukti hingga terlahir saya dan adik. Kendati mamah tidak pandai mengurus keluarga, Bapak saaat itu sangat sabar mengajarkan mamah segala hal termasuk memasak. Mamah memang tidak pintar memasak, namun beliau pintar dalam hal lain, menjahit, menanam dan merawat bunga, membuat keterampilan apapun, beliau bagi saya ibu yang kretaif selalu punya banyak ide untuk menuangkan keterampilan dalam hal apapun.
Mamah berjilbab sejak SD, dan saat mengajar di bekasi tahun 80-an, mamah satu diantara dua orang guru yang berjilbab di sana. Hampir mamah di ancam akan dipecat jika tetap berjilbab, namun beliau memang keras, selama itu itu sesuatu yang benar, kenapa takut untuk diperjuangkan, dan perjuangan itu membuahkan hasil, hingga sekarang semua orang bahkan guru diwajibkan untuk berjilbab dalam dinas mengajarnya.
Mamah dan Bapak memulai kehidupan rumah tangga dari nol, saat menikah mamah membantu bapak untuk bisa kuliah lagi di S1, sebelumnya SPG hanyalah sekolah yang setara SMA. Untuk menambah uang belanja, apapun mamah lakukan sepulang mengajar, membuat baso colok [cilok], membuat bunga  - bunga kertas, hingga saat tujuh belas agustusan menjadi rutinitas bagi saya membantu mamah membuat bendera untuk dijual, saat itu satu tiang bendera dijual seharga dua ratus rupiah. Sangat senang bisa melihat mamah tersenyum saat semua benderanya laku terjual. Saya pun sempat menjual produk – produk mamah, lontong, cilok, bahkan es yang dijual keliling ke murid – murid SMP yang sekolah siang di dekat rumah, yah walaupun akhirnya sebagian jualannya malah saya makan. ^^.
Sebagai seorang guru, mamah adalah guru yang sangat disukai oleh murid – muridnya, ini terlihat saat keluarga kami pindah dari bekasi ke kuningan, hampir tiga truk lebih yang mengantarkan kami ke kuningan, itu terjadi sepuluh tahun lalu, dan saat setahun lalu mamah untuk pertama kalinya ke Bekasi lagi, di sana masih banyak murid – muridnya yang juga teman – teman saya saat SD yang merindukan beliau, masih mengagap beliau ibu. Sampai saat ini saya selalu kebagian kekerenan mamah, kalo jalan sama mamah terus ketemu murinya jadi kebagian diciumin tanagn sama anak – anak [Hihihi, kebawa artis].
Waktu kecil saya sering kali iri dengan hal ini, kadang saya merasa mamah lebih peduli pada muridnya. Dalam banyak hal. Karena dulu daerah tempat kami tinggal masih jarang guru mengaji, malam harinya mamah mengajar ngaji juga. Saya menjadi salah satu murid terbandelnya, terbandel karena selalu tidak menuruti nasehatnya. Ini saya anggap sebagai hukuman buat mamah, karena mamah tidak pernah memberikan nilai maksimal atas prestasi saya mengaji. Bahkan saat SD pernah beberapa kali mamah menjadi wali kelas saya. Tidak satu kalipun saya mendapat peringkat pertama. Selalu skak sampai peringkat 2 atau 1.2 [peringkat satunya ada dua orang, dan saya kebagian peringkat 1 yang ke 2]. Padahal saat kelas 6 saya pindah ke Majalengka [waktu itu hanya saya seorang diri yang tinggal bersama nenek dari Bapak] saya langsung memperoleh peringkat ke satu. Mamah seolah tidak pernah mau terlihat ada nepotisme di kelas, bahkan saat kelas 4 saya pernah dapet lemparan sepatu Mamah saat ngajar, hehe kalo ini gara - garanya saya over akting di kelas ganggguin temen dengan nyanyi yang lumayan memekakan telinga. Mamah memberi tahu saya ”kalau kamu mau terlihat lebih pintar, cari guru lain, jangan mamah!”.
Saat saya berantem, atau dibuat nangis, bahkan jatuh dari sepeda, Mamah ga pernah membela saya. Mamah justru balik memarahi saya, walaupunn tangannya sambil ngobatin pake obat merah. Katanya kalo jadi anak tuh jangan manja, lagian bandel sih.Sejak itu saya jarang lagi bilang kalo saya abis berantem, atau jatuh, takut diomelin. Kadang saya iri juga sama teman yang bisa ngadu kalo berantem sama saya [walaupun dia yang salah], dan ibunya malah ngomelin saya. Namun itulah yang saya syukuri saat sudah sebesar ini, cara mamah mendidik saya untuk tidak mudah cengeng dan menyerah membuat saya lebih bisa  mandiri dan ga gampang cengeng.
Hingga hari itu pun tiba, hari dimana mamah terlihat sangat lemah. Mamah harus menelan pil pahit. Bahwa sang suami yang selama ini dipercayainya seratus persen untuk menimba ilmu di S2, ternyata menikah lagi dengan wanita lain, saat tahu sang suami sudah membohongi selama kurang lebih empat tahun dan mempunyai dua anak dari penikahan itu. Tidak hanya bagi mamah, pukulan ini datang juga bagi saya dan adik bahkan keluarga besar dari pihak keluarga Mamah. Hari – hari yang bagi saya menyebalkan, karena mamah terlihat linglung, sering menangis, dan melamun, bahkan semakin sering shalat, pagi malem, siang, hingga kadang lupa menyiapkan sarapan untuk kami. Sebelum berita itu terbongkar, selama empat tahun mamah mencari cari dimana keberadaan bapak yang sesungguhnya, hingga lembaran rupiah pergi tak ada ujungnya menacari suami tercinta.Rumah tangga yang mereka bangun sampai seusia 20 tahun terkoyak, rumah tangga yang dibangun dengan perjuangan dari tangga ke nol, rumah tangga yang membuat bapak bisa kuliah sampai S2.
Mamah semakin kurus, karena selain harus memikirkan persoalan rumah tangganya, beliau harus memikirkan pula bagaimana cara membesarkan dan membiayai kami. Sejak menikah lagi, bapak jadi tidak fokus pada mamah dan kami. Saya yang sudah tahu bagaimana hak dan kewajiban suami dari buku dan ustadz, mulai menanyakan hal ini pada mamah. Saya bertanya , ”Mah, kenapa ga cerai aja, teteh kasian sama mamah, setidaknya status mamah jelas, dicerai tidak, dinafkahi pun tidak”, saat itu meski bertanya seperti ini , sebenernya saya tidak rela hal ini terjadi,  atau pun tidak mampu membayangkan seandainya mamah menikah lagi.
Dan mamah memberikan jawaban yang bagi saya ini sesuatu hal yang membuat saya harus tetap bertahan untuk beliau ”Karena kalian, mamah tidak mau kalian merasakan hal yang sama mamah rasakan waktu kecil, setidaknya meski kita tidak sering ketemu bapak, kalian tidak punya orang tua yang bercerai”, lihat! Demi kami, demi anak – anak yang lebih banyak menuntut, melawan, bahkan sering kali membuat hatinya sakit dan matanya basah. Tidak jarang setiap kali saya pulang ke rumah, satu persatu barang mamah, anting, gelang, cincin, bahkan sampai rak piring, hingga mesin jahit yang selalu membuat saya bisa pake baju baru di jual untuk biaya kuliah. Dan mamah tidak pernah menyesali itu selama itu bisa membuat pendidikan saya dan adik berlanjut, hingga ia berharap kami tidak mengalami kisah hidup seperti beliau.
Dan mamah tidak perlu waktu lama untuk bangkit, tahun 2005 mamah memutuskan untuk memilih kuliah lagi, dahulu mamah sempat melanjutkan sampai D2. Banyak yang menentang keputusan mamah untuk kuliah, dari keluarga, bapak sendiri, bahkan adik saya. Ini karena saat itu keluarga melihat mamah harus nya mempiroritaskan kami dulu, dan karena memang biaya yang terbatas. Tapi mamah tidak pernah menyerah. Halangan yang datang dari adik saya yang masih kelas satu SMA saat itu, dia sering kali menyembunyikan buku tugas kuliah mamah saya, merobek buku tugas, bahkan sampai menyembunyikan  skripsi mamah. Namun mamah yang sebenarnya daya ingatnya sudah tidak semuda dulu, mempunyai semangat belajar yang tinggi. Jam sebelas malam, saat pulang ke kuningan, sering saya liat mamah belajar sampai jam dua. Lalu shalat malam sampai subuh. Sejak saya kecil apalagi saat ini mamah selalu rajin tilawah, shaum sunah, dzikir, shalat tahajud. Hal yang paling saya senang saat pulang kampung. Saat orang lain merasa pulang kampung menjauhkan dirinya dari amalan yaumiyah, karena keluarga yang belum paham atau jauh dari teman – teman yang berkecimpung dalam dawah, saya justru merasakan pulang kampung adalah saat – saat saya bisa mengupgrade keimanan saya, karena jika saya tidak shalat malam atau keliatan ba’da magrib nonton TV mamah bakalan nyeret kaki saya, atau ngomel – ngomel sampe saya bangun dari tempat tidur dan kursi. 
Mamah adalah seorang pemeblajar. Pada siapun, kapanpun, dimanapun, apapun beliau pelajari. Saya dan adik sering kali jadi tempat konsultasi mamah, kendati sebenernya saya bisa matematika gara – gara digurui beliau, mamah selalu bertanya tentang rumus-rumus matematika yang sekiranya bakalan cocok dikasih ke muridnya.untuk hal ini adik saya yang paling sabar melayani segala keingintahuan mamah, soalnya kadang saya pengen mamah cepet ngerti. Saat kuliah mamah konsultasi tentang ekonomi, gimana ini, gimana itu. Belajar menjahitpun beliau tahu dari muridnya saat di Bekasi dulu, beliau tidak segan – segan bertanya jika memang tidak tahu. Inilah yang membuat teman – teman kerja dan bahkan tetangga sangat menyayangi mamah, bahkan beliau  selalu bertanya sama muridnya yang masih SD. Mamah bilang ”Ga semua yang kita tahu itu adalah keahlian kita, sering nanya teh, kalo ga tahu, karena kalo kita tahu dari yang ahlinya apalagi diidiridhoi dari yang tahu untuk ngasih ilmu ke kita, ilmu kita akan lebih bermanfaat”. Bahkan saat mamah baru punya hp, mamah banyak nanya ga ketulungan, ini gimana, caranya gimana, dan semakin lama saya semakin belajar untuk bisa sabar pada mamah.
Dan ...
Meski terseok –seok untuk bisa lulus S1,
Akhirnya dua tahun lalu mamah lulus tepat waktu. Siapa yang menyangka mamah yang usianya sudah empat puluh empat tahun itu bisa lulus S1. Bahkan  dosennya pun menyangsikan bahwa mamah diliat dari segi biaya maupun dukungan sangat kurang. Dan mamah memang selalu meyakinkan saya selama kita rajin shalat dan berdoa Allah akan selalu mempermudah langkah kita, meski rintangan itu menutupi penglihatan kita. Mamah membuktikan itu pada kami, pada keluarga besarnya. Banyak hikmah setelah mamah lulus S1. Bapak meski tak seperti dulu lagi, jadi lebih sering perhatian pada keluarga, bahkan sertifikasi guru yang baru saja diikuti mamah adalah buah dari keyakinannya untuk bisa melanjutkan pendidikan di usia senja. Kadang saya malu, saya yang masih muda masih sering ngeluh dengan ulah – ulah dosen yang ngasih nilai C pada KHS saya.
Mamah tetaplah seorang ibu yang cerewet, tapi mamah ga pernah cerewet kecuali,jika saya pake qur’an kecil yang katanya ’nyenet’ [Bikin mata pusing] dan Shalat. Selebihnya kalaupun saya ga masak, ga nyuci piring, ga nyapu rumah, mamah tidak mempermasalahkan, tapi katanya khan kalo kita mau ibadah harus bersih dan bertenaga Teh. Yah itu mah sama aja, jadilah saya mengerjakan semua hal itu.
Sampai saat ini saya tidak pernah takut bakalan ’nyasar’ di Bandung, karena saya yakin mamah dengan segala apa yang ia miliki dan dengan apa yang beliau lakukan, selalu mendoakan saya untuk segera lulus dan menjadi manusia seutuhnya. Kalo bukan karena beliau yang begitu kuat, gigih berjuang, sabar menyayangi kami anak – anaknya mungkin kala jatuh kala lemah kami akan memilih untuk berhenti saja dari perjuangan ini, egois memikirkan kepentingan pribadi karena toh masa depan ini untuk saya bukan untuk orang lain. Mamah mengisnpirasi dan lebih dari itu bagi saya beliau adalah pilar dan pondasi untuk menembus masa depan yang masih begitu abtsrak. Dengan benteng kasih sayang dan do’anya saya bisa melihat masa depan ini dengan perspektif yang jelas, dan ingin lebih jelas lagi kala bisa melihat mamah tersenyum kepada saya yang memakai toga dan mempersembahkan ijazah S1. Menjadi seseorang yang lebih baik di masa depan ...
Mamah adalah Jalan cinta ...
Jalan bagi saya untuk bisa berbakti, mengabdi, Jalan bagi saya menemukan Cinta yang sesungguhNya, dan jalan bagi saya untuk menuju Jannah-Nya
Seorang anak sekaligus wanita yang terinspirasi oleh  wanita yang telah melahirkannya ....



Ibu ...
Betapa pengorbanan
Dan keyakinanmu dalam berjuang
Turut menjadi pelita
Dalam sadar langkahku

Semoga kau tak menjadi lilin
Yang menerangi sekitarnya dengan membakar dirinya sendiri
Aku ingin tetap bersamamu hingga ujung usiaku ....


Fall in LOVE





Aku jatuh cinta
Tidak pada dunia dan segala isinya
Tidak pada langit dan angkasa raya
Tidak pada bumi dan apa yang tertanam di dalamnya
Tidak pada laut dan penghuninya
Aku jatuh cinta padamu
yang tercipta di Rahimku dengan keRahiim-an Nya 
Dalam langkahmu yang menggetarkan seisi dunia
Dalam tidur-tidur lelapmu yang memimpikan memeluk bumi mengarungi laut dan samudera ...
Dan sebelum aku jatuh cinta padamu,
aku terlebih dahulu jatuh cinta pada ia yang bersamaku menghadirkanmu ...
Dan lebih dari itu,aku Cinta pada Ia yang menghadirkan cinta di antara kita, Ialah ALLAH SWT, Tuhan Kita