Saya mengenal wanita ini sepanjang hidup,
sepanjang saya melangkah, sepanjang jalan. Dan beliau menemani langkah ini
dengan cinta. Cinta yang tulus, tanpa asa, tanpa ragu, bahkan meminta balas
atas sekian puluh ribu tetesan keringat cinta yang mengalir dalam tubuh ini.
Dialah ibu, Mama, wanita yang telah melahirkan dan membesarkan saya.
Dialah ibu, Mama, wanita yang telah melahirkan dan membesarkan saya.
Seseorang yang banyak menginspirasi
saya.menginspirasi dalam segala hal, Sayang saya baru menyadari semua yang mama
lakukan adalah sesuatu yang baik untuk
saya sekarang ini.
Sejak kecil mamah sangat sedikit merasakan kasih sayang dari orang tua
terutama sang ibu, sejak berusia kurang dari satu tahun,mamah sudah harus
terpisah dari ibu kandungnya, sang ibu yang diharapkan bisa membesarkan penuh
kasih dan sayang, mengajarkannya kelemah lembutan wanita, tata krama seorang
wanita, kesabaran, kelembutan, memasak, menjadi tempat berlindung kala
bersedih. Itu semua tidak mama
temukan. Begitu yang saya tahu dari cerita Mama, Ema Buyut, dan Nenek yang
merupakan sang ibu dari mamah.
Saya pun merasakan bagaimana mamah begitu
sulit membangun itu semua kendati sudah menikah dan mempunyai anak seperti
saya. Tidak seperti ibu – ibu lainnya, Mamah tidak pintar memasak, beres –
beres rumah, merawat suami. Dan itu sedikit banyak mempengaruhi saya yang juga
jadi tidak terlalu pintar memasak. Tapi bukan berarti mamah tidak pernah
memasak. Mamah selalu memasak untuk kami, hanya saja tidak sehebat ibu2
lainnya.
Saat saya kecil mamah sering mendongengkan
cerita-cerita yang mengandung semangat, termasuk cerita bahwa saat kecil, mamah
sering kali cemburu jika main ke rumah temannya. Iri Karena saat ke rumah temannya, di sana ada ibu si teman yang sedang mempersiapkan
sarapan berangkat sekolah, sementara mamah saat itu karena malu, pura - pura
bilang bahwa dia sudah sarapan, padahal sebenarnya belum. Dan Mamah hanya bisa
berdiri dekat pintu, tanpa berani mengganggu adegan anak dan ibu di depan
matanya itu. Saat bercerita ini, mamah sambil memasak makanan untuk saya ^^, dan
saya tidak bisa membayangkan sederas apa tangis mamah saat itu.
Kehidupan soliter sejak kecil yang mamah
lewati membuat beliau tumbuh menjadi sosok yang terlihat lembut dari luar namun
memiliki pendirian yang sangat kuat dan sedikit terlihat keras. Dalam
keterbatasan dan lingkungan keluarga yang tumbuh di lingkungan pesantren
tradisional, mamah termasuk yang bersikeras untuk bisa melanjutkan sekolah formal.
Hingga akhirnya beliau bisa menjadi guru dan menjadi pegawai negeri sipil. Saat
itu, di zamannya menjadi guru dan menjadi seorang PNS adalah hal yang hanya
bisa dilakukan oleh orang – orang yang memiliki latar belakang ‘normal’,
normal dari keluarga yang lengkap orang tuanya, normal dari segi pembiayaannya
dan normal segala – galanya. Meski saat itu Abah berkecukupan, mamah tetap
berkeyakinan bahwa pendidikan adalah salah satu modal terbesar dalam menjalani
hidup ini, dan itu terbukti hingga akhirnya Abah tidak lagi sejaya dulu, mamah
adalah satu – satunya dari tiga anak Abah yang bisa hidup dengan keringat
sendiri, dan satu satunya anak abah yang bisa melanjutkan studi formalnya sampai
tingkat S1.
Untuk menuju S1 pun bukanlah sesuatu yang
sangat mudah bagi mamah. Sejak lulus SPG [Sekolah Pendidikan Guru] mamah mulai
mengabdikan diri di daerah Bekasi, dan di sanalah beliau mendapatkan seseorang
yang kemudian kelak saya panggil Bapak. Suami pilihan mamah, dan untuk itu mamah menolak pilihan keluarga. Sebuah keputusan besar, karena mamah baru
bertemu beberapa kali dengan Bapak, dan kemudian memutuskan dengan cepat untuk
menikah. Ada sebagian besar keluarga yang menyayangkan hal ini. Namun mamah dan
Bapak tetap berjuang membuktikan bahwa mereka bisa menjalani kehidupan keluarga
walau dengan kondisi yang sederhana. Dan itu terbukti hingga terlahir saya dan
adik. Kendati mamah tidak pandai mengurus keluarga, Bapak saaat itu sangat
sabar mengajarkan mamah segala hal termasuk memasak. Mamah memang tidak pintar
memasak, namun beliau pintar dalam hal lain, menjahit, menanam dan merawat bunga,
membuat keterampilan apapun, beliau bagi saya ibu yang kretaif selalu punya
banyak ide untuk menuangkan keterampilan dalam hal apapun.
Mamah
berjilbab sejak SD, dan saat mengajar di bekasi tahun 80-an, mamah satu diantara
dua orang guru yang berjilbab di sana. Hampir mamah di ancam akan dipecat jika
tetap berjilbab, namun beliau memang keras, selama itu itu sesuatu yang benar,
kenapa takut untuk diperjuangkan, dan perjuangan itu membuahkan hasil, hingga
sekarang semua orang bahkan guru diwajibkan untuk berjilbab dalam dinas mengajarnya.
Mamah
dan Bapak memulai kehidupan rumah tangga dari nol, saat menikah mamah membantu
bapak untuk bisa kuliah lagi di S1, sebelumnya SPG hanyalah sekolah yang setara
SMA. Untuk menambah uang belanja, apapun mamah lakukan sepulang mengajar,
membuat baso colok [cilok], membuat bunga
- bunga kertas, hingga saat tujuh belas agustusan menjadi rutinitas bagi
saya membantu mamah membuat bendera untuk dijual, saat itu satu tiang bendera
dijual seharga dua ratus rupiah. Sangat senang bisa melihat mamah tersenyum
saat semua benderanya laku terjual. Saya pun sempat menjual produk – produk
mamah, lontong, cilok, bahkan es yang dijual keliling ke murid – murid SMP yang
sekolah siang di dekat rumah, yah walaupun akhirnya sebagian jualannya malah
saya makan. ^^.
Sebagai
seorang guru, mamah adalah guru yang sangat disukai oleh murid – muridnya, ini
terlihat saat keluarga kami pindah dari bekasi ke kuningan, hampir tiga truk
lebih yang mengantarkan kami ke kuningan, itu terjadi sepuluh tahun lalu, dan
saat setahun lalu mamah untuk pertama kalinya ke Bekasi lagi, di sana masih banyak
murid – muridnya yang juga teman – teman saya saat SD yang merindukan beliau,
masih mengagap beliau ibu. Sampai saat ini saya selalu kebagian kekerenan mamah,
kalo jalan sama mamah terus ketemu murinya jadi kebagian diciumin tanagn sama
anak – anak [Hihihi, kebawa artis].
Waktu
kecil saya sering kali iri dengan hal ini, kadang saya merasa mamah lebih
peduli pada muridnya. Dalam banyak hal. Karena dulu daerah tempat kami tinggal
masih jarang guru mengaji, malam harinya mamah mengajar ngaji juga. Saya
menjadi salah satu murid terbandelnya, terbandel karena selalu tidak menuruti
nasehatnya. Ini saya anggap sebagai hukuman buat mamah, karena mamah tidak
pernah memberikan nilai maksimal atas prestasi saya mengaji. Bahkan saat SD pernah beberapa kali mamah
menjadi wali kelas saya. Tidak satu kalipun saya mendapat peringkat pertama. Selalu
skak sampai peringkat 2 atau 1.2 [peringkat satunya ada dua orang, dan saya kebagian
peringkat 1 yang ke 2]. Padahal saat kelas 6 saya pindah ke Majalengka [waktu
itu hanya saya seorang diri yang tinggal bersama nenek dari Bapak] saya
langsung memperoleh peringkat ke satu. Mamah seolah tidak pernah mau terlihat
ada nepotisme di kelas, bahkan saat kelas 4 saya pernah dapet lemparan sepatu
Mamah saat ngajar, hehe kalo ini gara - garanya saya over akting di kelas
ganggguin temen dengan nyanyi yang lumayan memekakan telinga. Mamah memberi
tahu saya ”kalau kamu mau terlihat lebih pintar, cari guru lain, jangan mamah!”.
Saat
saya berantem, atau dibuat nangis, bahkan jatuh dari sepeda, Mamah ga pernah
membela saya. Mamah justru balik memarahi saya, walaupunn tangannya sambil
ngobatin pake obat merah. Katanya kalo jadi anak tuh jangan manja, lagian
bandel sih.Sejak itu saya jarang lagi bilang kalo saya abis berantem, atau
jatuh, takut diomelin. Kadang saya iri juga sama teman yang bisa ngadu kalo
berantem sama saya [walaupun dia yang salah], dan ibunya malah ngomelin saya.
Namun itulah yang saya syukuri saat sudah sebesar ini, cara mamah mendidik saya
untuk tidak mudah cengeng dan menyerah membuat saya lebih bisa mandiri dan ga gampang cengeng.
Hingga
hari itu pun tiba, hari dimana mamah terlihat sangat lemah. Mamah harus menelan
pil pahit. Bahwa sang suami yang selama ini dipercayainya seratus persen untuk
menimba ilmu di S2, ternyata menikah lagi dengan wanita lain, saat tahu sang
suami sudah membohongi selama kurang lebih empat tahun dan mempunyai dua anak
dari penikahan itu. Tidak hanya bagi mamah, pukulan ini datang juga bagi saya
dan adik bahkan keluarga besar dari pihak keluarga Mamah. Hari – hari yang bagi saya menyebalkan, karena
mamah terlihat linglung, sering menangis, dan melamun, bahkan semakin sering
shalat, pagi malem, siang, hingga kadang lupa menyiapkan sarapan untuk kami. Sebelum
berita itu terbongkar, selama empat tahun mamah mencari cari dimana keberadaan
bapak yang sesungguhnya, hingga lembaran rupiah pergi tak ada ujungnya menacari
suami tercinta.Rumah tangga yang mereka bangun sampai seusia 20 tahun terkoyak,
rumah tangga yang dibangun dengan perjuangan dari tangga ke nol, rumah
tangga yang membuat bapak bisa kuliah sampai S2.
Mamah
semakin kurus, karena selain harus memikirkan persoalan rumah tangganya, beliau
harus memikirkan pula bagaimana cara membesarkan dan membiayai kami. Sejak
menikah lagi, bapak jadi tidak fokus pada mamah dan kami. Saya yang sudah tahu
bagaimana hak dan kewajiban suami dari buku dan ustadz, mulai menanyakan hal
ini pada mamah. Saya bertanya , ”Mah, kenapa ga cerai aja, teteh kasian sama
mamah, setidaknya status mamah jelas, dicerai tidak, dinafkahi pun tidak”, saat
itu meski bertanya seperti ini , sebenernya saya tidak rela hal ini
terjadi, atau pun tidak mampu
membayangkan seandainya mamah menikah lagi.
Dan
mamah memberikan jawaban yang bagi saya ini sesuatu hal yang membuat saya harus
tetap bertahan untuk beliau ”Karena kalian, mamah tidak mau kalian merasakan
hal yang sama mamah rasakan waktu kecil, setidaknya meski kita tidak sering
ketemu bapak, kalian tidak punya orang tua yang bercerai”, lihat! Demi kami,
demi anak – anak yang lebih banyak menuntut, melawan, bahkan sering kali membuat
hatinya sakit dan matanya basah. Tidak jarang setiap kali saya pulang ke rumah,
satu persatu barang mamah, anting, gelang, cincin, bahkan sampai rak piring,
hingga mesin jahit yang selalu membuat saya bisa pake baju baru di jual untuk
biaya kuliah. Dan mamah tidak pernah menyesali itu selama itu bisa membuat
pendidikan saya dan adik berlanjut, hingga ia berharap kami tidak mengalami kisah
hidup seperti beliau.
Dan
mamah tidak perlu waktu lama untuk bangkit, tahun 2005 mamah memutuskan untuk
memilih kuliah lagi, dahulu mamah sempat melanjutkan sampai D2. Banyak yang
menentang keputusan mamah untuk kuliah, dari keluarga, bapak sendiri, bahkan adik
saya. Ini karena saat itu keluarga melihat mamah harus nya mempiroritaskan kami
dulu, dan karena memang biaya yang terbatas. Tapi mamah tidak pernah menyerah.
Halangan yang datang dari adik saya yang masih kelas satu SMA saat itu, dia
sering kali menyembunyikan buku tugas kuliah mamah saya, merobek buku tugas, bahkan
sampai menyembunyikan skripsi mamah.
Namun mamah yang sebenarnya daya ingatnya sudah tidak semuda dulu, mempunyai
semangat belajar yang tinggi. Jam sebelas malam, saat pulang ke kuningan, sering
saya liat mamah belajar sampai jam dua. Lalu shalat malam sampai subuh. Sejak
saya kecil apalagi saat ini mamah selalu rajin tilawah, shaum sunah, dzikir,
shalat tahajud. Hal yang paling saya senang saat pulang kampung. Saat orang
lain merasa pulang kampung menjauhkan dirinya dari amalan yaumiyah, karena keluarga
yang belum paham atau jauh dari teman – teman yang berkecimpung dalam dawah,
saya justru merasakan pulang kampung adalah saat – saat saya bisa mengupgrade
keimanan saya, karena jika saya tidak shalat malam atau keliatan ba’da magrib
nonton TV mamah bakalan nyeret kaki saya, atau ngomel – ngomel sampe saya
bangun dari tempat tidur dan kursi.
Mamah
adalah seorang pemeblajar. Pada siapun, kapanpun, dimanapun, apapun beliau
pelajari. Saya dan adik sering kali jadi tempat konsultasi mamah, kendati sebenernya
saya bisa matematika gara – gara digurui beliau, mamah selalu bertanya tentang
rumus-rumus matematika yang sekiranya bakalan cocok dikasih ke muridnya.untuk hal
ini adik saya yang paling sabar melayani segala keingintahuan mamah, soalnya
kadang saya pengen mamah cepet ngerti. Saat kuliah mamah konsultasi tentang
ekonomi, gimana ini, gimana itu. Belajar menjahitpun beliau tahu dari muridnya
saat di Bekasi dulu, beliau tidak segan – segan bertanya jika memang tidak
tahu. Inilah yang membuat teman – teman kerja dan bahkan tetangga sangat
menyayangi mamah, bahkan beliau selalu
bertanya sama muridnya yang masih SD. Mamah bilang ”Ga semua yang kita tahu itu
adalah keahlian kita, sering nanya teh, kalo ga tahu, karena kalo kita tahu
dari yang ahlinya apalagi diidiridhoi dari yang tahu untuk ngasih ilmu ke kita,
ilmu kita akan lebih bermanfaat”. Bahkan saat mamah baru punya hp, mamah banyak
nanya ga ketulungan, ini gimana, caranya gimana, dan semakin lama saya semakin
belajar untuk bisa sabar pada mamah.
Dan
...
Meski
terseok –seok untuk bisa lulus S1,
Akhirnya
dua tahun lalu mamah lulus tepat waktu. Siapa yang menyangka mamah yang usianya
sudah empat puluh empat tahun itu bisa lulus S1. Bahkan dosennya pun menyangsikan bahwa mamah diliat
dari segi biaya maupun dukungan sangat kurang. Dan mamah memang selalu
meyakinkan saya selama kita rajin shalat dan berdoa Allah akan selalu mempermudah
langkah kita, meski rintangan itu menutupi penglihatan kita. Mamah membuktikan
itu pada kami, pada keluarga besarnya. Banyak hikmah setelah mamah lulus S1.
Bapak meski tak seperti dulu lagi, jadi lebih sering perhatian pada keluarga,
bahkan sertifikasi guru yang baru saja diikuti mamah adalah buah dari
keyakinannya untuk bisa melanjutkan pendidikan di usia senja. Kadang saya malu,
saya yang masih muda masih sering ngeluh dengan ulah – ulah dosen yang ngasih
nilai C pada KHS saya.
Mamah
tetaplah seorang ibu yang cerewet, tapi mamah ga pernah cerewet kecuali,jika
saya pake qur’an kecil yang katanya ’nyenet’ [Bikin mata pusing] dan Shalat.
Selebihnya kalaupun saya ga masak, ga nyuci piring, ga nyapu rumah, mamah tidak
mempermasalahkan, tapi katanya khan kalo kita mau ibadah harus bersih dan
bertenaga Teh. Yah itu mah sama aja, jadilah saya mengerjakan semua hal itu.
Sampai
saat ini saya tidak pernah takut bakalan ’nyasar’ di Bandung, karena saya yakin
mamah dengan segala apa yang ia miliki dan dengan apa yang beliau lakukan, selalu
mendoakan saya untuk segera lulus dan menjadi manusia seutuhnya. Kalo bukan
karena beliau yang begitu kuat, gigih berjuang, sabar menyayangi kami anak –
anaknya mungkin kala jatuh kala lemah kami akan memilih untuk berhenti saja
dari perjuangan ini, egois memikirkan kepentingan pribadi karena toh masa depan
ini untuk saya bukan untuk orang lain. Mamah mengisnpirasi dan lebih dari itu bagi
saya beliau adalah pilar dan pondasi untuk menembus masa depan yang masih
begitu abtsrak. Dengan benteng kasih sayang dan do’anya saya bisa melihat masa
depan ini dengan perspektif yang jelas, dan ingin lebih jelas lagi kala bisa
melihat mamah tersenyum kepada saya yang memakai toga dan mempersembahkan
ijazah S1. Menjadi seseorang
yang lebih baik di masa depan ...
Mamah
adalah Jalan cinta ...
Jalan
bagi saya untuk bisa berbakti, mengabdi, Jalan bagi saya menemukan Cinta yang
sesungguhNya, dan jalan bagi saya untuk menuju Jannah-Nya
Seorang
anak sekaligus wanita yang terinspirasi oleh wanita yang telah melahirkannya ....
Ibu
...
Betapa
pengorbanan
Dan
keyakinanmu dalam berjuang
Turut
menjadi pelita
Dalam
sadar langkahku
Semoga
kau tak menjadi lilin
Yang
menerangi sekitarnya dengan membakar dirinya sendiri
Aku
ingin tetap bersamamu hingga ujung usiaku ....